Pendahuluan
Keharusan mengetahui asal-usul bagi penganut Hindu di
Bali, tidak dapat di pungkiri lagi. Hal ini berkaitan dengan pengalaman Agama
Hindu yang di anut oleh Umat Hindu Bali mengharuskan dilakukannya suatu
kewajiban suci berupa yadnya yang di sebut Pitra Puja atau Pitra Yadnya, salah
satu dari lima kewajiban yang disebut Panca Yadnya adalah merupakan penjabaran
dari ajaran Tri Rnam (hutang kepada tiga unsur), yaitu hutang manusia kepada
Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa), hutang kepada para Rsi/Wipra dan hutang
manusi kepada leluhur/ Kawitan.
Kira-kira pada abad XIII. Mpu Sidhimantra datang ke Bali. Di Bali beliau menurunkan seorang
putra yang diberi nama Mpu Manik Angkeran (Sang Bang Manik Angkeran). Baik Mpu
Sidhimantra maupun satu-satunya putra beliau rupanya mengabdikan diri
sepenuhnya di Pura Batumadeg Besakih.atas
jasa dan pengabdian beliau dalam bidang keagamaan di Bali, untuk beliau juga
dibangun masing-masing sebuah pelinggih berbentuk meru.
Berdasarkan pralintih dapat diketahui, bahwa Sang Bang
Manik Angkeran adalah keluarga dekat Dalem Samprangan (sepupu satu) hanya
perbedaan beliau mungkin cukup besar, mengingat Mpu Sidhimantra adalah saudara
tertua Mpu Kepakisan dari 4 Mpu bersaudara atau yang lebih terkenal pula dengan
sebutan Sang Catur Rsi/ Sang Catur Pandita.
Pernah timbul anggapan dalam masyarakat, sehubungan
dengan ‘Padharman’ bahwa ‘Padharman’ mereka ada di komplek Pura Barumadeg
Besakih. Hal ini didasarkan dengan adanya seorang Rohaniawan yang sekaligus
juga menjadi pendiri atau penubuh dari warga dengan pembentukan pelinggih, baik
berbentuk meru maupun gedong terdapat di Komplek Pura Batumadeg Besakih.
Anggapan seperti itu sesungguhnya keliru karena
beliau-beliau yang diabadikan disana
dalam sebuah pelinggih dalam kapasitas sebuah Dang Guru Jagat dan bukan sebagai pendiri atau penubuh sebuah
warga. Adapun tempat menghadap beliau selaku ‘kawitan’ oleh para damuhnya
adalah di Pura Padharmanbagi warga yang telah memilikinya dan yang belum dalah
di Pura Kawitan.
Karena Mpu Sidhimantra adalah saudara tertua dari Sang
Catur Rsi, keberadaan ketiga cucu beliau (Mpu Sidhimantra), rupanya sebaya
dengan para putra Mpu Kepakisan. Salah seorang tiga bersaudara putra Sang Manik
Angkeran yang bernama Ide Banyak Wide, pergi Kemajapahit (Jawa), ingin menjadi
Mpu Sidhimantra. Menurut kisah Babad Mpu Sidhimantra kala itu telah pulang kea
lam gaib. Singkat cerita Ide Banyak Wide kemudian jatuh cinta kepada Ni Gusti
Ayu Pinatih, putrid satu-satunya Patih Arya Beletung. Ki Arya Beletung
merelakan putinya kawin dengan Ida Banyak Wide,dengan syarat Ide Banyak Wide
harus menjadi sentana Ki Arya Beletung, Ida Banyak Wide dapat menyetujuinya.
Tahun 1350 M, Turunlah rombongan Dalem Samprangan
ke Bali, bersama para Bhujangga dan para Arya,di antaranya Banyak Wide yang di
Bali lebih di kenal dengan sebutan I Gustu Pinatih. Tempat dimana setelah tiba
di Bali, I Gusti Pinatih membangun puri bersama pengiring, lama-lama setelah
menjadi sebuah desa, desa itu bernamalah Desa Pinatih.
Sekitar
tahun 1453, salah seorang keturunan I Gusti Pinatih, oleh Dalem Gelgel I
(1380-1460),di angkatlah menajdi Anglurah di sutu dearah kekuasan bernama
Singarsa Bangli. I Gusti Ngurah Bija Pulaga Pinatih dengan pengiring 455 orang
berbekal keris pajenengan Ki Loting
dan sebuah pedang, pada hari senin tiba di Bangli, serta berpuri di Desa Bale Agung Bangli.
Salah seorang saudara Ide Banyak
Wide yang bernama Ide Wayabhya (Ida Kajekauh), rupanya masih tekun menjalani
dharma kependetaan. Beliau telah podgala dan bergelar Rsi Bhujangga Penulisan.
Konon beliau cukup lama mengabdi di Penulisan.
PEMBAHASAN
1.1 Pura Keluarga /
Merajan
Merajan atau sanggah adalah tem pat suci untuk
memuliakan arwah suci para leluhur terutama ibu bapak yang sudah tiada dan
berada di alam baka (sunia loka) bagi masyarakat Hindu di Bali disebut Merajan
atau Sanggah. Di lihat dari istilah kedua kata itu berasaldari bahasa
sansekerta, yaitu raja yang juga disebut rajan yang secara umum juga berarti
raja, ialah sebutan atau gelar kepala pemerintahan dari suatu system
pemerintahan kerajaan dan merupakan jabatan yang mulai atau dimuliakan. Timbul
tradisi dan kebiasaan bilamana menyebut sorang raja didahului dengan kata
penghormatan seperti misalnya dengan
kata yang mulia. Kata rajan dalam bahasa sansekerta kemudian memperoleh awalan
ma lalu menjadi merajan yang bermakna tempat memuliakan dan memuja yang dalam
hal ini untukmemuliakan dan memuja arwah suci para leluhur terutama ibu bapak
yang sudah tiada.
Sedangkan kata sanggah berasar dari kata sanggar yang
secara harfiar berarti kuil atau sangga dalam kaitan kata anangga yang berarti
memegang tinggi juga dapat bermakna menjungjung atau memuja . jadi dengan
demikian sanggah berarti tempat suci untuk menjunjung tinggi atau memuja
leluhur dan isa sang hyang widhi wasa dalam berbagai prabawa atau
manifestasinya beliau.
Dengan demikian antara sanggah dan merajan memiliki arti
atau makna yang sama yakni tempat suci sebagai tempat pujaan kepada leluhur dan
ida sang hyang widi wasa.
1.2 Fungsi Sangggah/
Pamerajan
Berdasarkan
keyakinan umat Hindu di Bali, Sanggah/Pamerajan berfungsi sebagai:
a. Sebagai
tempat suci untuk memuja Sang Hyang Widi Wasa dan para Leluhur/Kawitan
b. Sebagai
tempat berkumpul sanak keluarga dalam mempererat tali keluarga.
c. Sebagai
tempat kegiatan social/pendidikan yang berkaitan dengan Agama.
1.3 Beberapa pelinggih
dalam merajan antara lain:
1.3.1 Jro Gede
Jro Gede ini yang terletak di depan gapuradari sanggah.
Di Bali Jro Gede yang merupakan kristalisasi sekta Ganapatya atau disebut
dengan Dewa Ganesha yang merupakan tempat berstananya Dewa Gana, dimana sekta
dari Dewa Ganesha/Jro Gede ini berfungsi sebagai penjaga karang rumah atau
sebagai pelindung terhadap mahkluk-mahkluk yang berusaha untuk mengganggu kita.
Selain itu pakaian saput dari Jro
Gede yang hitam putih/saput poleng adalah kain bercorak kotak-kotak persegi dengan warna
hitam-putih seperti papan catur . kain yang disebut saput poleng ini sudah
merupakan bagian dari adat dan hidup dalam kehidupan adat masyarakat Bali
. Dimana Saput poleng bisa ditemukan hampir di setiap sudut tempat di Bali
,baik di pura, di patung-patung, di bangunan, kawasan wisata ,bahkan dipakai
sebagai busana dalam acara khusus. Bagi orang Bali, kain yang disebut “saput
poleng” memiliki fungsi khusus dan istimewa. Ada makna filosofis pada kain ini.
Makna
filosofis Saput poleng merupakan refleksi dari kehidupan kita yaitu baik dan
buruk yang dalam Hindu dikenal dengan istilah RwaBhineda adalah dua sifat
yang bertolak belakang, yakni hitam-putih, baik-buruk, atas-bawah, suka-duka
dan sebagainya. Intinya mkana dari saput poleng ini adalah
menandakankeseimbangan yang ada di alam ini.
Arti
Saput Poleng dalam bahasa Bali ‘saput’ artinya selimut, dan ‘poleng’ artinya
belang. Selimut belang yang bercorak kotak-kotak hitam-putih ini
merupakan khas dari Bali. Dalam kontek adat di Bali, ‘saput’ juga bermakna
busana, yang dalam bahasa Bali halus disebut ‘wastra’. Sehingga ‘saput
poleng’ diartikan sebagai ‘busana bercorak kotak persegi warna
hitam-putih yang dipergunakan secara khusus’.
Banten yang di
gunakan di Jro Gede adalah Canang Ketipat
Alasnya
tamas/taledan atau ceper, kemudian diisi buah, pisang dan kue secukupnya, enam
buah ketupat, rerasmen/lauk pauk + 1 butir telor mateng dialasi tri kona/
tangkih/celemik, sampyan palus/petangas, canang sari.
Ketupat
Kelanan adalah lambang dari Sad Ripu yang telah dapat dikendalikan atau
teruntai oleh rohani sehingga kebajikan senantiasa meliputi kehidupan manusia.
Dengan terkendalinya Sad Ripu maka keseimbangan hidup akan meyelimuti manusia.
Pengastawa
Pelinggih Jero Gede:
Ong,Ang,Ang, Ang Durga Manik
Maha saktyiem yenamahswaha
1.3.3.
Taksu
Taksu
Pada areal sanggah kamulan, ada sebuah pelinggih yang
penting yaitu Taksu. Kata Taksu sudah merupakan bahasa baku dalam kosa
kata Bali, yang dapat diartikan sebagai daya magis yang menjadikan keberhasilan
dalam segala aspek kerja. Misalnya para seniman, pragina, dalang, balian,
dalang dll. Mereka berhasil karena dianggap metaksu. Dalam ajaran tantrayana,
taksu itu bisa diartikan sama dengan sakti atau wisesa. Dan yang
dimaksud dengan sakti itu adalah simbul dari bala atau kekuatan. Dalam
sisi lain sakti juga disamakan dengan energi atau kala.
Dalam tatwa, daya atau sakti itu tergolong Maya
Tatwa. Energi dalam bahasa sanskrit disebut prana, yang adalah
bentuk ciptaan pertama dari Brahman. Dengan mempergunakan prana barulah
muncul ciptaan berikutnya yaitu panca mahabhuta. Dengan digerakkan oleh prana
kemudian terciptalah alam semesta beserta isinya. Tuhan dalam Nirguna Brahma
/ Paramasiva dalam Siva Tatwa, memanfaatkan energi atau sakti itu, sehingga
ia menjadi Maha Kuasa, memiliki Cadu Sakti dengan Asta Aiswarya-Nya. Dalam
keadaan seperti itu Ia adalah Maha Pencipta, Pemelihara dan Pelebur. Dalam Wraspati
Tatwa disebut Sadasiva dan dalam pustaka Weda disebut Saguna Brahma.
Sakti atau energi maya dari Tuhan itu dipuja dalam bentuk
pelinggih yang disebut Taksu. Sedangkan Tuhan dalam wujudnya sebagai Sang
Hyang Tri Purusa dan Sang Hyang Tri Atma dipuja dalam pelinggih
kamulan. Dalam upacara nyekah, selain sekah sebagai perwujudan atma yang telah
disucikan , kita juga mengenal adanya sangge. Sangge ini adalah
perwujudan atau simbul dari Dewi Mayasih. Beliau mewakili unsur
Maya Tatwa (pradana / sakti). Yang juga dalam upacara nyekah bersama-sama Atma
ikut disucikan.
Dalam ajaran Kanda Pat, dikenal adanya
nyama papat / saudara empat yang ikut lahir saat manusia dilahirkan. Setelah
melalui proses penyucian, saudara empat itu menjadi Ratu Wayan Tangkeb Langit,
Ratu Ngurah Teba, Ratu Gede Jelawung dan Ratu Nyoman Sakti Pengadangan.
Kempatnya itulah disebut sebagai dewanya taksu. Tidak lain adalah saudara kita
lahir yang nantinya menemani manusia dalam kehidupannya.
Dapat dikatakan fungsi Taksu adalah pemujaan
kepada Sakti dari Hyang Widhi, sehingga lengkaplah pemujaan kita kepada Hyang
Widhi sebagai Purusa dan Hyang Widhi sebagai Cakti atau Pradana. Dalam
perkembangannya Taksu berfungsi untuk memohon kesidiian atau keberhasilan untuk
semua jenis profesi baik sebagai seniman, petani, pedagang peminpin masyarakat
dan sebagainya. (Goggle:2012:1:26 PM)
Wastra yang di gunakan di pelinggih
Taksu adalah saput poleng. Makna filosofis Saput poleng merupakan refleksi dari
kehidupan kita yaitu baik dan buruk yang dalam Hindu dikenal dengan
istilah RwaBhineda adalah dua sifat yang bertolak belakang, yakni hitam-putih,
baik-buruk, atas-bawah, suka-duka dan sebagainya. Intinya mkana dari saput
poleng ini adalah menandakankeseimbangan yang ada di alam ini.
Banten yang di gunakan dalam
pelinggih taksu adalah:
Alasnya tamas/taledan atau
ceper, kemudian diisi buah, pisang dan kue secukupnya, enam buah ketupat,
rerasmen/lauk pauk + 1 butir telor mateng dialasi tri kona/ tangkih/celemik,
sampyan palus/petangas, canang sari.
Ketupat
Kelanan adalah lambang dari Sad Ripu yang telah dapat dikendalikan atau
teruntai oleh rohani sehingga kebajikan senantiasa meliputi kehidupan manusia.
Dengan terkendalinya Sad Ripu maka keseimbangan hidup akan meyelimuti manusia.
Pengastawa Pelinggih Taksu:
Ong, Ang,
Ang, Ang Sang kala raja bionamah swaha
Ong Kling,
Kling Kling Sang Butha raja bionamah swaha
1.3.2
Pelinggih
Gedong Sari
Gedong
Sari atau Ratu terletak di sebelah utara dari pertiwi menghadap ke barat.Gedong
Sari atau Ratu fungsinya adalah persimpangan Pemujaan Dewa-dewa di Pura-Pura
Khayangan Jagat Bali. Yang di Puja disana adalah Dewa – Dewa di Pura Khayangan
Jagat Bali.
1.3.3
Ratu Ayu Mecatu
Gedong
Catu, terletak di sebelah Utara Gedong Sari menghadap ke barat, menggunakan
perucut runcing di atapnya.
Fungsinya
adalah untuk tempat pemujaan Sri Sedana manifestasi Ida SangHyang Widhi ( Tuhan
) sebagai Dewa Harta Atau Kekayaan, untuk kesejahteraan hidup. Dewa yang di
puja di Sana adalah Bathara Rambut Sedana ( Sri Sedana ) sebagai Dewa kekayaan.
1.3.4
Bangunan Suci Kemulan (Rong Tiga)
Penamaan
Ista Dewatanya pada bangunan suci kemulan sesuai dengan sumber sastra yang ada,
adalah merupakan manifestasi Sang Hyang Widhi setelah bermanifestasi memberi
kekuatan pada jalan simpang Tiga (Marga Tugsanga) yaitu dengan swabhawa “Sang Hyang Sapuh
Jagat”, Beliau bermanifestasi ke pemerajan yaitu pada bangunan suci kemulan
dengan swabawanya sebagai “Sang Hyang Guru Suksma”. Sang Hyang Guru
Suksmamemiliki kemahakuasaan Tri Murti, yaitu dengan manifestasinya Brahma
bermanifestasi lagi sebagai “Sang Hyang Sri Guru”. Dengan swabawanya , Sang
Hyang memiliki kemahakuasaan untuk mengikat dan mengayomi para Rokh-rokh
Suci Leluhur (Dewa Pitara) yang bersifat Purasa (laki-laki) atau dengan kata
lain Dewa Pitara bersifat Purusa bersemayam pada Sang Hyang Sri Guru berstana
di rong Kanan. Sang Hyang Guru Suksma memiliki kemahakuasaan Tri Murtinya
dengan manifestasi Visnunya berupa swabawa sebagai Sang Hyang Sri Adhi Guru
memiliki kemahakuasaan sebagai Antaratma untuk mengikat dan mengayomi para
Rokh-rokh Suci Leluhur (Dewa Pitara) dan berstana pada Rong Kiri Kemulan.
Fungsi
Sanggah Kemulan
1.
Tempat Pemujaan Ida Hyang Widdhi
Dimuka sudah dijelaskan, bahwa pengertian Hyang Kamulan,
adalah Sanghyang Tri Atma yang panunggalannya adalah Hyang Tuduh atau Hyang
Tunggal. Sanghyang Tri Atma yakni : Atma, Sivatma dan Paratma adalah Tuhan,
dalam manifestasinya sebagai Roh. Menurut sistim Yoga, Ia adalah identik dengan
Tri Purusa (Siva, Sadasiva dan Paramasiva) menurut filsafat Siva Sidhanta dan
sesuai pula dengan Brahma, Visnu, Isvara. Ia juga sesuai dengan fungsi Siva
sebagai Guru. Oleh karenanya Hyang Kamulan adalah juga Bhatara Guru, yang
berdimensi tiga pula, yaitu Guru Purwam (Paramasiva), Guru Madyam (Sadasiva)
dan Guru Rupam (Siva). Jadi dengan demikian sesungguhnya yang dipuja pada
Sanggah Kamulan adalah Ida Hyang Widhi dalam wujud sebagai Sanghyang Tri Atma,
Sanghyang Tri Purusa (Bhatara Guru) dan Sanghyang Tri Murti.
2.
Tempat Memuja Leluhur
Dalam lontar Purwabhumi kamulan dinyatakan bahwa Sanggah
Kamulan adalah tempat Ngunggahang Dewapitara,
“… iti kramaning anggunggahaken pitra ring kamulan …”
(Rontal
Purwabhumi Kamulan, lembar 53).
Ngunggahang Dewapitara pada kamulan
dimaksudkan adalah untuk “melinggihkan” atau mensthanakan” dewa pitara itu.
Yang dimaksud dengan dewa pitara adalah : roh leluhur yang
telah suci, yang disucikan melalui proses upacara Pitra Yadnya, baik Sawa
Wedana maupun Atma Wedana.
Ngunggahang Dewa Pitara pada Sanggah Kamulan adalah
mengandung maksud mempersatukan dewa pitara (roh leluhur yang sudah suci)
kepada sumbernya (Hyang Kamulan). Kalimat “irika mapisan lawan dewa Hyangnia
nguni” mengandung pengertian bersatunya atma yang telah suci dengan sumbernya,
yakni Sivatma (ibunta) dan Paratma (ayahta). Hal ini adalah merupakan realisasi
dari tujuan akhir Agama Hindu yakni mencapai moksa (penyatuan Atma dengan
paratma).
Pemikiran tersebut didasarkan atas aspek Jnana kanda dari
ajaran Agama Hindu.
Dari segi susila (aspek etika) ngunggahang Dewa Pitara pada
Sanggah Kamulan, adalah bermaksud mengabdikan/melinggihkan roh leluhur yang
telah suci pada Sanggah Kamulan untuk selalu akan dipuja, mohon doa restu dan
perlindungan.
Atma yang dapat diunggahkan pada Sanggah Kamulan adalah Atma
yang telah disucikan melalui proses upacara Nyekah atau mamukur seperti
dinyatakan dalam rontal :
“… iti kramaning ngunggahakan pitra ring kamulan, ring
wusing anyekah kurung muah mamukur, ri tutug rwa wales, dinanya, sawulan pitung
dinanya…”.
Artinya
:
“… Ini perihalnya menaikkan dewa
pitara pada Kamulan, setelah upacara nyekah atau mamukur, pada dua belas
harinya, atau 42 harinya…”.
Jadi upacara ngalinggihang Dewapitara adalah merupakan
kelanjutan dari upacara nyekah atau mamukur itu. Tetapi karena pitara sudah
mencapai tingkatan dewa, sehingga disebut Dewapitara, maka upacara ini tidak
tergolong pitra yadnya lagi, melainkan tergolong Dewayadnya. Dari uraian di
atas itu, jelaslah bagi kita, bahwa Sanggah Kamulan disamping untuk memuja
Hyang Widhi, juga tempat memuja roh suci leluhur yang telah menunggal dengan
sumbernya (Hyang Kamulan, atau Hyang Widdhi).
Sejarah Kemulan
Sanggah Kamulan, menurut Tattwanya, jelas bersumber dari
ajaran Hindu, aspek Jnana kanda dan etikanya. Aspek Jnana kanda adalah bersumber
dari sistim Yoga, Wedanta, Samkhya, dan Siva Sidhanta. Hal ini sudah kita
uraikan di muka, pada bab III.
Sedangkan latar belakang etiknya, adalah kewajiban
(swadharman) dari keturunan atau “pretisentana” untuk selalu memuja leluhurnya.
Konsep pemujaan leluhur yang dilakukan oleh umat Hindi di Indonesia khususnya
Bali adalah bersumber dari ajaran agama Hindu. Pustaka suci agama Hindu banyak
sekali menguraikan tata cara pemuhaan leluhur, yang lazim disebut “sraddha”.
Dalam buku Griha Sutra, disebutkan bahwa pada setiap rumah
tangga Hindu, terdapat tempat pemujaan leluhur yang disebut “Wastospati”.
Upacara pemujaannya disebut “pinda pitara yajna”.
Alam Dharmasastra, tatacara pemujaan leluhur dengan panjang
lebar diuraikan pada bab III. Demikian juga pada buku-buku Purana cerita
Itihasa, baik Ramayana maupun Mahabarata.
Dengan adanya data-data pasti tentang adanya konsep pemujaan
leluhur dalam ajaran Agama Hindu, ini berarti pendapat para pakar kepurbakalaan
tentang pemujaan leluhur dalam masyarakat Hindu di Bali, yang dikatakan
bersumber dari konsep pemikiran pra Hindu dapat di kesampingkan.
Jadi dengan demikian adanya Sanggah Kamulan sebagai tempat
leluhur, dalam rumah tangga di Bali, adalah setua masuknya Agama Hindu di
Indonesia.
Sedangkan kata “Kamulan” itu sendiri, sebagai sebutan tempat
suci, telah disebut-sebut dalam Prasasti Sri Kahulunan pada tahun 842 AD yang
kutipan kalimatnya sebagai berikut :
“Tatkala
Sri Kahulunan manusuk warna I trupurussan watak kahulunan simaning kamulan
bhumi sembara”.
(Wikarman,
1998 : 22)
Kamulan bhumi sambara dimaksudkan
adalah candi Borobudur, yang menurut De Casparis merupakan pemujaan 14 tingkat
leluhur dari raja Cailendra.
Nama Kamulan sebagai tempat suci juga kita dapati dalam
prasasti Siman A-126 yang menyebutkan “Sanghyang Dharma Kamulan i paradah”.
Demikian juga dalam prasasti Klungkung A-439 ada juga disebut Kamulan. Bangunan
tempat suci yang bernama kamulan telah ada kurang lebih 1.000 tahun yang lalu.
Di Bali sebagai pemujaan dalam setiap rumah tangga digariskan dalam lontar
Sivagama. Diperkirakan lontar tersebut adalah merupakan ajaran Mpu Kuturan.
Jadi dengan demikian dapat diperkirakan Mpu Kutuanlah yang mengajarkan agar
setiap karang perumahan bagi umat Hindu di Bali, didirikan Sanggah Kamulan.
Pengastawa di Kemulan:
Ong dewa-dewa Tri Dewanam
Tri Murti Tri Linggadmanem
Brahma Wisnu Maheswaram
Sarwa Jagat Jiwatmanam
Ong Guru Rupam Sadadnyanem
Guru Patanranam Dewam
Guru Nama Japet Sada
Nasti-nasti Dine-dine
Ong Gung Guru Paduke bionamah svaha
Pelinggih Piasan
Bentuk
bangunan ini segi empat panjang memakai tiang bangunan empat buah, ada juga
yang memakai enam buah tiang sesuai dengan besar kecilnya bangunan. Piasan
berasal dari kata Pehiasan artinya tempat menghias atau merangkai simbul,
seperti daksina pelinggih, arca, sebelum distanakan pada bangunan suci dan
tempat upakara yang akan dipersembahkan. Manifestasi Sang Hyang Widhi yang
berstana pada bangunan ini adalah “ Sang Hyang Wenang”. Dari kata wenang yang
artinya segala manifestasi Sang Hyang Widhi bisa distanakan pada bangunan
piasan
Pelinggih Ratu Ayu Mas Majapahit
(Pelinggih Menjangan Salwang)
Bentuk
bangunan suci Manjangan Salwang adalah Gedong juga, hanya memiliki tiang(saka)
lima buah saka, yang dibelakang dua buah dan tiga buah di depannya. Tiang yang
didepannya, dua tiang di kanan kirinya lebih pendek sehingga kaki ke dua tiang
tersebut tidak berpijak pada dasarnya (mengambang).
Makna
dari bangunan suci tersebut adalah untuk meningkatkan kepercayaan dan keyakinan
terhadap keberadaan Sang Hyang Widhi beserta manifestasinya melalui bangunan
suci yang ada dipemerajan.
Penjelasan :
a.
Bangunanbertiang
lima buah mengandung simbul Panca Rsi.
b.
Kepala
Menjangan mengandung maksud Sang Putus atau Maha Rsi.
c.
Binatang
menjangan bertanduk bercabang-cabang
mengandung maksud kekuasaan kerajaan Majapahit.
Kesimpulan :
Ada
lima Maharsi dari Majapahit yang pernah datang ke Bali untuk menata kembali
masyarakat Bali baik dibidang fisik maupun spiritual.
Pangastawa pelinggih Ratu Ayu Mas
Majapahit (Manjangan Salwang)
Ong Hyang, Hyang jeng Sang Hyang
Panca Rsi maha sidhi yenamah swaha
Pelinggih Ratu Ayu Tambang Layar
(Kemulan Rong Dua)
Rong Dua, sebuah bangunan suci yang
beruang dua tempat memuja leluhur dengan wujud purusa dan predana. Tempat
ini pula untuk menghaturkan “sodaan, persembahan
berupa banten kepada leluhur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar