Sabtu, 01 Februari 2014

MERAJAN



Pendahuluan
            Keharusan mengetahui asal-usul bagi penganut Hindu di Bali, tidak dapat di pungkiri lagi. Hal ini berkaitan dengan pengalaman Agama Hindu yang di anut oleh Umat Hindu Bali mengharuskan dilakukannya suatu kewajiban suci berupa yadnya yang di sebut Pitra Puja atau Pitra Yadnya, salah satu dari lima kewajiban yang disebut Panca Yadnya adalah merupakan penjabaran dari ajaran Tri Rnam (hutang kepada tiga unsur), yaitu hutang manusia kepada Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa), hutang kepada para Rsi/Wipra dan hutang manusi  kepada leluhur/ Kawitan.
            Kira-kira pada abad XIII. Mpu Sidhimantra datang ke Bali. Di Bali beliau menurunkan seorang putra yang diberi nama Mpu Manik Angkeran (Sang Bang Manik Angkeran). Baik Mpu Sidhimantra maupun satu-satunya putra beliau rupanya mengabdikan diri sepenuhnya di Pura Batumadeg Besakih.atas jasa dan pengabdian beliau dalam bidang keagamaan di Bali, untuk beliau juga dibangun masing-masing sebuah pelinggih berbentuk meru.
            Berdasarkan pralintih dapat diketahui, bahwa Sang Bang Manik Angkeran adalah keluarga dekat Dalem Samprangan (sepupu satu) hanya perbedaan beliau mungkin cukup besar, mengingat Mpu Sidhimantra adalah saudara tertua Mpu Kepakisan dari 4 Mpu bersaudara atau yang lebih terkenal pula dengan sebutan Sang Catur Rsi/ Sang Catur Pandita.
            Pernah timbul anggapan dalam masyarakat, sehubungan dengan ‘Padharman’ bahwa ‘Padharman’ mereka ada di komplek Pura Barumadeg Besakih. Hal ini didasarkan dengan adanya seorang Rohaniawan yang sekaligus juga menjadi pendiri atau penubuh dari warga dengan pembentukan pelinggih, baik berbentuk meru maupun gedong terdapat di Komplek Pura Batumadeg Besakih.
            Anggapan seperti itu sesungguhnya keliru karena beliau-beliau yang diabadikan disana  dalam sebuah pelinggih dalam kapasitas sebuah Dang Guru Jagat dan bukan sebagai pendiri atau penubuh sebuah warga. Adapun tempat menghadap beliau selaku ‘kawitan’ oleh para damuhnya adalah di Pura Padharmanbagi warga yang telah memilikinya dan yang belum dalah di Pura Kawitan.
            Karena Mpu Sidhimantra adalah saudara tertua dari Sang Catur Rsi, keberadaan ketiga cucu beliau (Mpu Sidhimantra), rupanya sebaya dengan para putra Mpu Kepakisan. Salah seorang tiga bersaudara putra Sang Manik Angkeran yang bernama Ide Banyak Wide, pergi Kemajapahit (Jawa), ingin menjadi Mpu Sidhimantra. Menurut kisah Babad Mpu Sidhimantra kala itu telah pulang kea lam gaib. Singkat cerita Ide Banyak Wide kemudian jatuh cinta kepada Ni Gusti Ayu Pinatih, putrid satu-satunya Patih Arya Beletung. Ki Arya Beletung merelakan putinya kawin dengan Ida Banyak Wide,dengan syarat Ide Banyak Wide harus menjadi sentana Ki Arya Beletung, Ida Banyak Wide dapat menyetujuinya.
Tahun  1350 M, Turunlah rombongan Dalem Samprangan ke Bali, bersama para Bhujangga dan para Arya,di antaranya Banyak Wide yang di Bali lebih di kenal dengan sebutan I Gustu Pinatih. Tempat dimana setelah tiba di Bali, I Gusti Pinatih membangun puri bersama pengiring, lama-lama setelah menjadi sebuah desa, desa itu bernamalah Desa Pinatih.
Sekitar tahun 1453, salah seorang keturunan I Gusti Pinatih, oleh Dalem Gelgel I (1380-1460),di angkatlah menajdi Anglurah di sutu dearah kekuasan bernama Singarsa Bangli. I Gusti Ngurah Bija Pulaga Pinatih dengan pengiring 455 orang berbekal keris pajenengan Ki Loting dan sebuah pedang, pada hari senin tiba di Bangli, serta berpuri di Desa Bale Agung Bangli.
            Salah seorang saudara Ide Banyak Wide yang bernama Ide Wayabhya (Ida Kajekauh), rupanya masih tekun menjalani dharma kependetaan. Beliau telah podgala dan bergelar Rsi Bhujangga Penulisan. Konon beliau cukup lama mengabdi di Penulisan.
PEMBAHASAN
1.1 Pura Keluarga / Merajan
            Merajan atau sanggah adalah tem pat suci untuk memuliakan arwah suci para leluhur terutama ibu bapak yang sudah tiada dan berada di alam baka (sunia loka) bagi masyarakat Hindu di Bali disebut Merajan atau Sanggah. Di lihat dari istilah kedua kata itu berasaldari bahasa sansekerta, yaitu raja yang juga disebut rajan yang secara umum juga berarti raja, ialah sebutan atau gelar kepala pemerintahan dari suatu system pemerintahan kerajaan dan merupakan jabatan yang mulai atau dimuliakan. Timbul tradisi dan kebiasaan bilamana menyebut sorang raja didahului dengan kata penghormatan  seperti misalnya dengan kata yang mulia. Kata rajan dalam bahasa sansekerta kemudian memperoleh awalan ma lalu menjadi merajan yang bermakna tempat memuliakan dan memuja yang dalam hal ini untukmemuliakan dan memuja arwah suci para leluhur terutama ibu bapak yang sudah tiada.

            Sedangkan kata sanggah berasar dari kata sanggar yang secara harfiar berarti kuil atau sangga dalam kaitan kata anangga yang berarti memegang tinggi juga dapat bermakna menjungjung atau memuja . jadi dengan demikian sanggah berarti tempat suci untuk menjunjung tinggi atau memuja leluhur dan isa sang hyang widhi wasa dalam berbagai prabawa atau manifestasinya beliau.
            Dengan demikian antara sanggah dan merajan memiliki arti atau makna yang sama yakni tempat suci sebagai tempat pujaan kepada leluhur dan ida sang hyang widi wasa.
1.2 Fungsi Sangggah/ Pamerajan
Berdasarkan keyakinan umat Hindu di Bali, Sanggah/Pamerajan berfungsi sebagai:
a.       Sebagai tempat suci untuk memuja Sang Hyang Widi Wasa dan para Leluhur/Kawitan
b.      Sebagai tempat berkumpul sanak keluarga dalam mempererat tali keluarga.
c.       Sebagai tempat kegiatan social/pendidikan yang berkaitan dengan Agama.
1.3 Beberapa pelinggih dalam merajan antara lain:
 1.3.1 Jro Gede
            Jro Gede ini yang terletak di depan gapuradari sanggah. Di Bali Jro Gede yang merupakan kristalisasi sekta Ganapatya atau disebut dengan Dewa Ganesha yang merupakan tempat berstananya Dewa Gana, dimana sekta dari Dewa Ganesha/Jro Gede ini berfungsi sebagai penjaga karang rumah atau sebagai pelindung terhadap mahkluk-mahkluk yang berusaha untuk mengganggu kita.
            Selain itu pakaian saput dari Jro Gede yang hitam putih/saput poleng adalah kain bercorak kotak-kotak persegi dengan warna hitam-putih seperti papan catur . kain yang disebut saput poleng ini sudah merupakan bagian dari adat dan hidup dalam kehidupan adat  masyarakat Bali . Dimana Saput poleng bisa ditemukan hampir di setiap sudut tempat di Bali ,baik di pura, di patung-patung, di bangunan, kawasan wisata ,bahkan dipakai sebagai busana dalam acara khusus. Bagi orang Bali, kain yang disebut “saput poleng” memiliki fungsi khusus dan istimewa. Ada makna filosofis pada kain ini.

Makna filosofis Saput poleng merupakan refleksi dari kehidupan kita yaitu baik dan buruk  yang dalam Hindu dikenal dengan istilah RwaBhineda adalah dua sifat yang bertolak belakang, yakni hitam-putih, baik-buruk, atas-bawah, suka-duka dan sebagainya. Intinya mkana dari saput poleng ini adalah menandakankeseimbangan yang ada di alam ini.

Arti Saput Poleng dalam bahasa Bali ‘saput’ artinya selimut, dan ‘poleng’ artinya belang. Selimut belang  yang bercorak kotak-kotak hitam-putih ini merupakan khas dari Bali. Dalam kontek adat di Bali, ‘saput’ juga bermakna busana, yang dalam bahasa Bali halus disebut ‘wastra’.  Sehingga ‘saput poleng’ diartikan sebagai ‘busana bercorak kotak persegi warna hitam-putih yang dipergunakan secara khusus’.

             Banten yang di gunakan di Jro Gede adalah Canang Ketipat
            Alasnya tamas/taledan atau ceper, kemudian diisi buah, pisang dan kue secukupnya, enam buah ketupat, rerasmen/lauk pauk + 1 butir telor mateng dialasi tri kona/ tangkih/celemik, sampyan palus/petangas, canang sari.
                Ketupat Kelanan adalah lambang dari Sad Ripu yang telah dapat dikendalikan atau teruntai oleh rohani sehingga kebajikan senantiasa meliputi kehidupan manusia. Dengan terkendalinya Sad Ripu maka keseimbangan hidup akan meyelimuti manusia.
                Pengastawa Pelinggih Jero Gede:
                Ong,Ang,Ang, Ang Durga Manik
                Maha saktyiem yenamahswaha
1.3.3. Taksu

            Taksu

       Pada areal sanggah kamulan, ada sebuah pelinggih yang penting yaitu Taksu. Kata Taksu sudah merupakan bahasa baku dalam kosa kata Bali, yang dapat diartikan sebagai daya magis yang menjadikan keberhasilan dalam segala aspek kerja. Misalnya para seniman, pragina, dalang, balian, dalang dll. Mereka berhasil karena dianggap metaksu. Dalam ajaran tantrayana, taksu itu bisa diartikan sama dengan sakti atau wisesa. Dan yang dimaksud dengan sakti itu adalah simbul dari bala atau kekuatan. Dalam sisi lain sakti juga disamakan dengan energi atau kala.
         Dalam tatwa, daya atau sakti itu tergolong Maya Tatwa. Energi dalam bahasa sanskrit disebut prana, yang adalah bentuk ciptaan pertama dari Brahman. Dengan mempergunakan prana barulah muncul ciptaan berikutnya yaitu panca mahabhuta. Dengan digerakkan oleh prana kemudian terciptalah alam semesta beserta isinya. Tuhan dalam Nirguna Brahma / Paramasiva dalam Siva Tatwa, memanfaatkan energi atau sakti itu, sehingga ia menjadi Maha Kuasa, memiliki Cadu Sakti dengan Asta Aiswarya-Nya. Dalam keadaan seperti itu Ia adalah Maha Pencipta, Pemelihara dan Pelebur. Dalam Wraspati Tatwa disebut Sadasiva dan dalam pustaka Weda disebut Saguna Brahma.
        Sakti atau energi maya dari Tuhan itu dipuja dalam bentuk pelinggih yang disebut Taksu. Sedangkan Tuhan dalam wujudnya sebagai Sang Hyang Tri Purusa dan Sang Hyang Tri Atma dipuja dalam pelinggih kamulan. Dalam upacara nyekah, selain sekah sebagai perwujudan atma yang telah disucikan , kita juga mengenal adanya sangge. Sangge ini adalah perwujudan atau simbul dari Dewi Mayasih. Beliau mewakili unsur Maya Tatwa (pradana / sakti). Yang juga dalam upacara nyekah bersama-sama Atma ikut disucikan.
           Dalam ajaran Kanda Pat, dikenal adanya nyama papat / saudara empat yang ikut lahir saat manusia dilahirkan. Setelah melalui proses penyucian, saudara empat itu menjadi Ratu Wayan Tangkeb Langit, Ratu Ngurah Teba, Ratu Gede Jelawung dan Ratu Nyoman Sakti Pengadangan. Kempatnya itulah disebut sebagai dewanya taksu. Tidak lain adalah saudara kita lahir yang nantinya menemani manusia dalam kehidupannya.
           Dapat dikatakan fungsi Taksu adalah pemujaan kepada Sakti dari Hyang Widhi, sehingga lengkaplah pemujaan kita kepada Hyang Widhi sebagai Purusa dan Hyang Widhi sebagai Cakti atau Pradana. Dalam perkembangannya Taksu berfungsi untuk memohon kesidiian atau keberhasilan untuk semua jenis profesi baik sebagai seniman, petani, pedagang peminpin masyarakat dan sebagainya. (Goggle:2012:1:26 PM)
            Wastra yang di gunakan di pelinggih Taksu adalah saput poleng. Makna filosofis Saput poleng merupakan refleksi dari kehidupan kita yaitu baik dan buruk  yang dalam Hindu dikenal dengan istilah RwaBhineda adalah dua sifat yang bertolak belakang, yakni hitam-putih, baik-buruk, atas-bawah, suka-duka dan sebagainya. Intinya mkana dari saput poleng ini adalah menandakankeseimbangan yang ada di alam ini.

Banten yang di gunakan dalam pelinggih taksu adalah:
Alasnya tamas/taledan atau ceper, kemudian diisi buah, pisang dan kue secukupnya, enam buah ketupat, rerasmen/lauk pauk + 1 butir telor mateng dialasi tri kona/ tangkih/celemik, sampyan palus/petangas, canang sari.
                Ketupat Kelanan adalah lambang dari Sad Ripu yang telah dapat dikendalikan atau teruntai oleh rohani sehingga kebajikan senantiasa meliputi kehidupan manusia. Dengan terkendalinya Sad Ripu maka keseimbangan hidup akan meyelimuti manusia.

Pengastawa Pelinggih Taksu:
            Ong, Ang, Ang, Ang Sang kala raja bionamah swaha
            Ong Kling, Kling Kling Sang Butha raja bionamah swaha
1.3.2        Pelinggih Gedong Sari
Gedong Sari atau Ratu terletak di sebelah utara dari pertiwi menghadap ke barat.Gedong Sari atau Ratu fungsinya adalah persimpangan Pemujaan Dewa-dewa di Pura-Pura Khayangan Jagat Bali. Yang di Puja disana adalah Dewa – Dewa di Pura Khayangan Jagat Bali.


1.3.3        Ratu Ayu Mecatu
Gedong Catu, terletak di sebelah Utara Gedong Sari menghadap ke barat, menggunakan perucut runcing di atapnya.
Fungsinya adalah untuk tempat pemujaan Sri Sedana manifestasi Ida SangHyang Widhi ( Tuhan ) sebagai Dewa Harta Atau Kekayaan, untuk kesejahteraan hidup. Dewa yang di puja di Sana adalah Bathara Rambut Sedana ( Sri Sedana ) sebagai Dewa kekayaan.
1.3.4        Bangunan Suci Kemulan (Rong Tiga)
Penamaan Ista Dewatanya pada bangunan suci kemulan sesuai dengan sumber sastra yang ada, adalah merupakan manifestasi Sang Hyang Widhi setelah bermanifestasi memberi kekuatan pada jalan simpang Tiga (Marga Tugsanga)  yaitu dengan swabhawa “Sang Hyang Sapuh Jagat”, Beliau bermanifestasi ke pemerajan yaitu pada bangunan suci kemulan dengan swabawanya sebagai “Sang Hyang Guru Suksma”. Sang Hyang Guru Suksmamemiliki kemahakuasaan Tri Murti, yaitu dengan manifestasinya Brahma bermanifestasi lagi sebagai “Sang Hyang Sri Guru”. Dengan swabawanya , Sang Hyang  memiliki kemahakuasaan  untuk mengikat dan mengayomi para Rokh-rokh Suci Leluhur (Dewa Pitara) yang bersifat Purasa (laki-laki) atau dengan kata lain Dewa Pitara bersifat Purusa bersemayam pada Sang Hyang Sri Guru berstana di rong Kanan. Sang Hyang Guru Suksma memiliki kemahakuasaan Tri Murtinya dengan manifestasi Visnunya berupa swabawa sebagai Sang Hyang Sri Adhi Guru memiliki kemahakuasaan sebagai Antaratma untuk mengikat dan mengayomi para Rokh-rokh Suci Leluhur (Dewa Pitara) dan berstana pada Rong Kiri Kemulan.
Fungsi Sanggah Kemulan
1.      Tempat Pemujaan Ida Hyang Widdhi
Dimuka sudah dijelaskan, bahwa pengertian Hyang Kamulan, adalah Sanghyang Tri Atma yang panunggalannya adalah Hyang Tuduh atau Hyang Tunggal. Sanghyang Tri Atma yakni : Atma, Sivatma dan Paratma adalah Tuhan, dalam manifestasinya sebagai Roh. Menurut sistim Yoga, Ia adalah identik dengan Tri Purusa (Siva, Sadasiva dan Paramasiva) menurut filsafat Siva Sidhanta dan sesuai pula dengan Brahma, Visnu, Isvara. Ia juga sesuai dengan fungsi Siva sebagai Guru. Oleh karenanya Hyang Kamulan adalah juga Bhatara Guru, yang berdimensi tiga pula, yaitu Guru Purwam (Paramasiva), Guru Madyam (Sadasiva) dan Guru Rupam (Siva). Jadi dengan demikian sesungguhnya yang dipuja pada Sanggah Kamulan adalah Ida Hyang Widhi dalam wujud sebagai Sanghyang Tri Atma, Sanghyang Tri Purusa (Bhatara Guru) dan Sanghyang Tri Murti.
2.        Tempat Memuja Leluhur
Dalam lontar Purwabhumi kamulan dinyatakan bahwa Sanggah Kamulan adalah tempat Ngunggahang Dewapitara,
“… iti kramaning anggunggahaken pitra ring kamulan …”
(Rontal Purwabhumi Kamulan, lembar 53).
Ngunggahang Dewapitara pada kamulan dimaksudkan adalah untuk “melinggihkan” atau mensthanakan” dewa pitara itu.
Yang dimaksud dengan dewa pitara adalah : roh leluhur yang telah suci, yang disucikan melalui proses upacara Pitra Yadnya, baik Sawa Wedana maupun Atma Wedana.
Ngunggahang Dewa Pitara pada Sanggah Kamulan adalah mengandung maksud mempersatukan dewa pitara (roh leluhur yang sudah suci) kepada sumbernya (Hyang Kamulan). Kalimat “irika mapisan lawan dewa Hyangnia nguni” mengandung pengertian bersatunya atma yang telah suci dengan sumbernya, yakni Sivatma (ibunta) dan Paratma (ayahta). Hal ini adalah merupakan realisasi dari tujuan akhir Agama Hindu yakni mencapai moksa (penyatuan Atma dengan paratma).
Pemikiran tersebut didasarkan atas aspek Jnana kanda dari ajaran Agama Hindu.
Dari segi susila (aspek etika) ngunggahang Dewa Pitara pada Sanggah Kamulan, adalah bermaksud mengabdikan/melinggihkan roh leluhur yang telah suci pada Sanggah Kamulan untuk selalu akan dipuja, mohon doa restu dan perlindungan.
Atma yang dapat diunggahkan pada Sanggah Kamulan adalah Atma yang telah disucikan melalui proses upacara Nyekah atau mamukur seperti dinyatakan dalam rontal :
“… iti kramaning ngunggahakan pitra ring kamulan, ring wusing anyekah kurung muah mamukur, ri tutug rwa wales, dinanya, sawulan pitung dinanya…”.

Artinya :
“… Ini perihalnya menaikkan dewa pitara pada Kamulan, setelah upacara nyekah atau mamukur, pada dua belas harinya, atau 42 harinya…”.

Jadi upacara ngalinggihang Dewapitara adalah merupakan kelanjutan dari upacara nyekah atau mamukur itu. Tetapi karena pitara sudah mencapai tingkatan dewa, sehingga disebut Dewapitara, maka upacara ini tidak tergolong pitra yadnya lagi, melainkan tergolong Dewayadnya. Dari uraian di atas itu, jelaslah bagi kita, bahwa Sanggah Kamulan disamping untuk memuja Hyang Widhi, juga tempat memuja roh suci leluhur yang telah menunggal dengan sumbernya (Hyang Kamulan, atau Hyang Widdhi).
Sejarah Kemulan
Sanggah Kamulan, menurut Tattwanya, jelas bersumber dari ajaran Hindu, aspek Jnana kanda dan etikanya. Aspek Jnana kanda adalah bersumber dari sistim Yoga, Wedanta, Samkhya, dan Siva Sidhanta. Hal ini sudah kita uraikan di muka, pada bab III.
Sedangkan latar belakang etiknya, adalah kewajiban (swadharman) dari keturunan atau “pretisentana” untuk selalu memuja leluhurnya. Konsep pemujaan leluhur yang dilakukan oleh umat Hindi di Indonesia khususnya Bali adalah bersumber dari ajaran agama Hindu. Pustaka suci agama Hindu banyak sekali menguraikan tata cara pemuhaan leluhur, yang lazim disebut “sraddha”.
Dalam buku Griha Sutra, disebutkan bahwa pada setiap rumah tangga Hindu, terdapat tempat pemujaan leluhur yang disebut “Wastospati”. Upacara pemujaannya disebut “pinda pitara yajna”.
Alam Dharmasastra, tatacara pemujaan leluhur dengan panjang lebar diuraikan pada bab III. Demikian juga pada buku-buku Purana cerita Itihasa, baik Ramayana maupun Mahabarata.
Dengan adanya data-data pasti tentang adanya konsep pemujaan leluhur dalam ajaran Agama Hindu, ini berarti pendapat para pakar kepurbakalaan tentang pemujaan leluhur dalam masyarakat Hindu di Bali, yang dikatakan bersumber dari konsep pemikiran pra Hindu dapat di kesampingkan.
Jadi dengan demikian adanya Sanggah Kamulan sebagai tempat leluhur, dalam rumah tangga di Bali, adalah setua masuknya Agama Hindu di Indonesia.
Sedangkan kata “Kamulan” itu sendiri, sebagai sebutan tempat suci, telah disebut-sebut dalam Prasasti Sri Kahulunan pada tahun 842 AD yang kutipan kalimatnya sebagai berikut :
Tatkala Sri Kahulunan manusuk warna I trupurussan watak kahulunan simaning kamulan bhumi sembara”.
(Wikarman, 1998 : 22)
Kamulan bhumi sambara dimaksudkan adalah candi Borobudur, yang menurut De Casparis merupakan pemujaan 14 tingkat leluhur dari raja Cailendra.

Nama Kamulan sebagai tempat suci juga kita dapati dalam prasasti Siman A-126 yang menyebutkan “Sanghyang Dharma Kamulan i paradah”. Demikian juga dalam prasasti Klungkung A-439 ada juga disebut Kamulan. Bangunan tempat suci yang bernama kamulan telah ada kurang lebih 1.000 tahun yang lalu. Di Bali sebagai pemujaan dalam setiap rumah tangga digariskan dalam lontar Sivagama. Diperkirakan lontar tersebut adalah merupakan ajaran Mpu Kuturan. Jadi dengan demikian dapat diperkirakan Mpu Kutuanlah yang mengajarkan agar setiap karang perumahan bagi umat Hindu di Bali, didirikan Sanggah Kamulan.
Pengastawa di Kemulan:
            Ong dewa-dewa Tri Dewanam
            Tri Murti Tri Linggadmanem
Brahma Wisnu Maheswaram
Sarwa Jagat Jiwatmanam
Ong Guru Rupam Sadadnyanem
Guru Patanranam Dewam
Guru Nama Japet Sada
Nasti-nasti Dine-dine
Ong Gung Guru Paduke bionamah svaha

Pelinggih Piasan
            Bentuk bangunan ini segi empat panjang memakai tiang bangunan empat buah, ada juga yang memakai enam buah tiang sesuai dengan besar kecilnya bangunan. Piasan berasal dari kata Pehiasan artinya tempat menghias atau merangkai simbul, seperti daksina pelinggih, arca, sebelum distanakan pada bangunan suci dan tempat upakara yang akan dipersembahkan. Manifestasi Sang Hyang Widhi yang berstana pada bangunan ini adalah “ Sang Hyang Wenang”. Dari kata wenang yang artinya segala manifestasi Sang Hyang Widhi bisa distanakan pada bangunan piasan
Pelinggih Ratu Ayu Mas Majapahit (Pelinggih Menjangan Salwang)
            Bentuk bangunan suci Manjangan Salwang adalah Gedong juga, hanya memiliki tiang(saka) lima buah saka, yang dibelakang dua buah dan tiga buah di depannya. Tiang yang didepannya, dua tiang di kanan kirinya lebih pendek sehingga kaki ke dua tiang tersebut tidak berpijak pada dasarnya (mengambang).
            Makna dari bangunan suci tersebut adalah untuk meningkatkan kepercayaan dan keyakinan terhadap keberadaan Sang Hyang Widhi beserta manifestasinya melalui bangunan suci yang ada dipemerajan.
Penjelasan :
a.       Bangunanbertiang lima buah mengandung simbul Panca Rsi.
b.      Kepala Menjangan mengandung maksud Sang Putus atau Maha Rsi.
c.       Binatang menjangan bertanduk bercabang-cabang  mengandung maksud kekuasaan kerajaan Majapahit.
Kesimpulan :
            Ada lima Maharsi dari Majapahit yang pernah datang ke Bali untuk menata kembali masyarakat Bali baik dibidang fisik maupun spiritual.
Pangastawa pelinggih Ratu Ayu Mas Majapahit (Manjangan Salwang)
            Ong Hyang, Hyang jeng Sang Hyang Panca Rsi maha sidhi yenamah swaha
Pelinggih Ratu Ayu Tambang Layar (Kemulan Rong Dua)
            Rong Dua, sebuah bangunan suci yang beruang dua tempat memuja leluhur dengan wujud purusa dan predana. Tempat ini pula untuk menghaturkan “sodaan, persembahan berupa banten kepada leluhur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar